SELAMAT DATANG DI KISAHKU

Jumat, 22 Juni 2012

Janji Palsu Profesionalisme Sepak Bola


KOMPAS.com - Tak bisa dibantah, krisis organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang mulai menyeruak sejak tahun 2010 merupakan salah satu kontributor penting makin tenggelamnya kinerja pembangunan persepakbolaan nasional. Krisis yang berkelanjutan praktis sampai detik ini membuat segala upaya untuk membangkitkan sepak bola nasional ibarat harus dimulai dari titik nol. Bahkan, dalam beberapa aspek, dimulai dari titik negatif, dari puing yang berserakan di sepanjang jalan sejarah.

Krisis ini sebenarnya bermula dari kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah kendali Nurdin Halid (2003-2011) yang cenderung membiarkan klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah kompetisi menggantungkan nasibnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam setiap kesempatan, para pengurus PSSI kala itu selalu menekankan pentingnya membawa sepak bola ke arah industrialisasi lewat pengelolaan klub yang profesional. Ironisnya, dalam setiap kesempatan pula, para petinggi PSSI selalu memberikan pembelaan terhadap sejumlah besar klub peserta liga yang bersikukuh memakai dana APBD.

Paradoks ini tampaknya dipelihara oleh rezim PSSI kala itu untuk mempertahankan kekuasaan. Modusnya, dengan membiarkan klub disusui APBD (yang juga sangat rentan dikorupsi karena tiadanya mekanisme kontrol), rezim penguasa PSSI bisa menyetir suara mereka dalam kongres pemilihan ketua dan anggota komite eksekutif.

Rezim itu juga praktis menguasai sekitar 30 suara pengurus provinsi (pengprov) dari sekitar 100 suara yang berhak memberikan suaranya di setiap kongres. Anggota pengprov, yang kebanyakan juga berasal dari pemerintahan daerah (pemda), jelas diuntungkan jika mekanisme hibah APBD terus mengucur ke sepak bola.

Modus pembiaran APBD ini merupakan satu dari beberapa cara yang dilakukan rezim penguasa PSSI kala itu untuk bertahan di tampuk pimpinan. Cara lain adalah dengan mengutak-atik pasal-pasal statuta dan merekayasa tata cara kongres.

Ambisi penguasa PSSI kala itu menimbulkan perlawanan hebat masyarakat sepak bola. Salah satunya kemudian muncul gagasan membentuk kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI). Gagasan yang disokong penuh oleh pengusaha Arifin Panigoro itu akhirnya bergulir pada Januari 2011 dengan slogan ”Kompetisi Profesional Tanpa APBD”.

Namun, ini pun nyatanya hanya menjadi slogan kosong. Selain kompetisi LPI tak pernah kelar, profesionalisme penyelenggara dan klub pesertanya pun nol besar. Konsorsium yang disebut-sebut sebagai penyokong dana juga tak pernah jelas sosoknya.

Dualisme kompetisi


Saat rezim Nurdin ambruk dan digantikan oleh era Djohar Arifin Husin, pembangunan sepak bola praktis tak beranjak. Bahkan, kemudian timbul dua kompetisi strata tertinggi, Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia. Namun, faktanya, LPI dan LSI pun sama-sama jauh dari sempurna dalam urusan profesionalisme yang baru diteropong dari sisi kedaulatan finansial. Itu semua terbukti dari banyaknya klub yang menunggak gaji pemainnya, baik di kubu LPI maupun di sisi LSI.

Dualisme kompetisi ini praktis membuat kepengurusan baru PSSI tak bisa bekerja maksimal untuk menata persepakbolaan nasional yang sudah morat-marit dalam satu dekade terakhir. Semua energi ibaratnya terkuras untuk membuat pembangunan sepak bola kembali ke relnya.

Perintah Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) agar dibentuk komite bersama—yang di antaranya dimaksudkan untuk mencari penyelesaian dualisme kompetisi—seharusnya menjadi titik awal menuju sepak bola Indonesia yang lebih baik.

0 Comments:

Posting Komentar