About Me
- Story of Japar
- takalar, takalar/sul-sel, Indonesia
- saya hanyalah seorang manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan,saya membutuhkan orang lain untuk menutupi ketidaksempurnaan yang saya miliki.
Lencana Facebook
Japaruddin
@daengjapar
Formulir Kontak
Blogger news
Popular Posts
-
Angin mengajarkanku akan arti kehadiran tanpa terlihat Bintang mengajarkanku akan arti kerinduan saat tak ada Aku hanyalah a...
-
Entah darimana awal semua cerita itu tertulis dalam sebuah buku catatan,tapi disitulah awal perjalananku dengan mereka yang selalu ...
-
Dia satu sosok diantara ratusan bahkan ribuan orang yang hadir dalam hidupku,aku mengenalnya lewat jejaring sosial aku dekat dengannya aku ...
-
Seandainya aku adalah bintang yang tak akan pernah hilang aku akan selalu memberikanmu cahaya yang tak akan pernah padam dari ...
-
Kisah empat tahun lalu antara kami semua yang ada disini Bertemu di tempat yang sama dengan tujuan yang sama Kami tak saling men...
-
Kau datang dalam hidupku Kau bawa warna dalam duniaku Kau bagaikan pelangi disore hari Kau seperti mentari terbit dipagi hari A...
Pages
Temukan kami di Facebook
Jumat, 22 Juni 2012
Janji Palsu Profesionalisme Sepak Bola
KOMPAS.com - Tak bisa dibantah, krisis organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang mulai menyeruak sejak tahun 2010 merupakan salah satu kontributor penting makin tenggelamnya kinerja pembangunan persepakbolaan nasional. Krisis yang berkelanjutan praktis sampai detik ini membuat segala upaya untuk membangkitkan sepak bola nasional ibarat harus dimulai dari titik nol. Bahkan, dalam beberapa aspek, dimulai dari titik negatif, dari puing yang berserakan di sepanjang jalan sejarah.
Krisis ini sebenarnya bermula dari kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah kendali Nurdin Halid (2003-2011) yang cenderung membiarkan klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah kompetisi menggantungkan nasibnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam setiap kesempatan, para pengurus PSSI kala itu selalu menekankan pentingnya membawa sepak bola ke arah industrialisasi lewat pengelolaan klub yang profesional. Ironisnya, dalam setiap kesempatan pula, para petinggi PSSI selalu memberikan pembelaan terhadap sejumlah besar klub peserta liga yang bersikukuh memakai dana APBD.
Paradoks ini tampaknya dipelihara oleh rezim PSSI kala itu untuk mempertahankan kekuasaan. Modusnya, dengan membiarkan klub disusui APBD (yang juga sangat rentan dikorupsi karena tiadanya mekanisme kontrol), rezim penguasa PSSI bisa menyetir suara mereka dalam kongres pemilihan ketua dan anggota komite eksekutif.
Rezim itu juga praktis menguasai sekitar 30 suara pengurus provinsi (pengprov) dari sekitar 100 suara yang berhak memberikan suaranya di setiap kongres. Anggota pengprov, yang kebanyakan juga berasal dari pemerintahan daerah (pemda), jelas diuntungkan jika mekanisme hibah APBD terus mengucur ke sepak bola.
Modus pembiaran APBD ini merupakan satu dari beberapa cara yang dilakukan rezim penguasa PSSI kala itu untuk bertahan di tampuk pimpinan. Cara lain adalah dengan mengutak-atik pasal-pasal statuta dan merekayasa tata cara kongres.
Ambisi penguasa PSSI kala itu menimbulkan perlawanan hebat masyarakat sepak bola. Salah satunya kemudian muncul gagasan membentuk kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI). Gagasan yang disokong penuh oleh pengusaha Arifin Panigoro itu akhirnya bergulir pada Januari 2011 dengan slogan ”Kompetisi Profesional Tanpa APBD”.
Namun, ini pun nyatanya hanya menjadi slogan kosong. Selain kompetisi LPI tak pernah kelar, profesionalisme penyelenggara dan klub pesertanya pun nol besar. Konsorsium yang disebut-sebut sebagai penyokong dana juga tak pernah jelas sosoknya.
Dualisme kompetisi
Saat rezim Nurdin ambruk dan digantikan oleh era Djohar Arifin Husin, pembangunan sepak bola praktis tak beranjak. Bahkan, kemudian timbul dua kompetisi strata tertinggi, Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia. Namun, faktanya, LPI dan LSI pun sama-sama jauh dari sempurna dalam urusan profesionalisme yang baru diteropong dari sisi kedaulatan finansial. Itu semua terbukti dari banyaknya klub yang menunggak gaji pemainnya, baik di kubu LPI maupun di sisi LSI.
Dualisme kompetisi ini praktis membuat kepengurusan baru PSSI tak bisa bekerja maksimal untuk menata persepakbolaan nasional yang sudah morat-marit dalam satu dekade terakhir. Semua energi ibaratnya terkuras untuk membuat pembangunan sepak bola kembali ke relnya.
Perintah Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) agar dibentuk komite bersama—yang di antaranya dimaksudkan untuk mencari penyelesaian dualisme kompetisi—seharusnya menjadi titik awal menuju sepak bola Indonesia yang lebih baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Followers
Category
Blog Archive
-
▼
2012
(89)
-
▼
Juni
(33)
- A I K (Agama Islam Kemuhammadiyahan)
- S I M
- PROPOSAL
- Sudah Cukup Sudah
- TIDAK SALAH TEMPAT REFRESHING (REFRESHING PUNTOND...
- ANTIK – MEMUTAR WAKTU
- Best Friend Forever – Cherry Belle
- Cherry Belle – Brand New Day
- Vanessa Carlton - We're in Heaven
- Me and Friends In Puntondo Takalar City
- SALAH TEMPAT REFRESHING MENJADI SATU CERITA
- Luka
- Ku Punya Perasaan
- Janji Palsu Profesionalisme Sepak Bola
- Foto dulu Q
- Tentang Persahabatan
- My Friends
- KETIKA MENEMUKAN HAL TERPENTING
- 5 Cara untuk Mengambil Hati Mertua
- Saya dan Teman"Q
- 10 Kota Paling Dibenci, Jakarta Nomor Tujuh
- Video Asusila Muda-Mudi Resahkan Warga Malang
- Butuh Pendidikan Autis yang Profesional
- DIBALIK CERITA SAHABAT
- temanQ
- Yang Tlah Jauh
- Ku tak peduli
- Pecinta Film Bentuk Sahabat Sinematek
- Nazaruddin: Dutasari Citralaras Atur "Fee" Hambalang
- Jangan Lewatkan Nonton Bareng Transit Venus
- Ribuan Ubur-ubur Serang Nelayan Bulukumba
- MERINDUKAN MALAM DIKALA SIANG
- INFO UNISMUH MAKASSAR
-
▼
Juni
(33)
0 Comments:
Posting Komentar